Review Film Eksil
Bagaimana rasanya jadi mereka yang terbuang, mendambakan pulang tapi tak diakui di negeri sendiri? Sekilas kalimat itu keluar saat menyaksikan video trailer film Eksil. Dan saat benar-benar menontonnya secara utuh, kami malah khawatir. Ada getir yang mengatakan ini tidak sesederhana yang kami bayangkan.
Jumat sore (23/2), kami akhirnya bisa menonton film Eksil yang diputar di bioskop Cinepolis Java Mall. Filmnya memang tidak tayang secara resmi saat dirilis awal bulan, namun peran komunitas sukses membawanya ke bioskop Kota Semarang.
Sempat ditawarin untuk ikut nonton bareng bersama mereka. Karena ini bukan dari rumah produksinya langsung yang mengadakan nobar, tentu ada biaya tiket. Kami menolaknya.
Eh ternyata kesempatan itu datang dengan sendirinya ketika ada rekan yang mendadak tidak jadi nonton. Dan tiketnya diberikan kepada kami.
Antusias yang jadi pesimis
Film Eksil berdurasi 2 jam dengan cerita yang dibungkus dengan lebih banyak wawancara. Ya, ini adalah film dokumentar. Yang menarik, wawancara ini tidak dilakukan dalam waktu sebentar. Beberapa orang yang berbicara di dalam gambar, ternyata meninggal kemudian.
Ada banyak negara yang harus dikunjungi tim Lola yang di dalam film hanya suaranya saja yang banyak terdengar mewancarai para eksil. Yang membuat berkesan adalah aktivitas para eksil yang direkam.
Kegembiraan saat menyaksikan film di awal berubah menjadi kekhawatiran dan ketegangan. Apalagi disuguhkan beragam fakta dan selipan sejarah yang tak pernah kami jumpai saat duduk di bangku Sekolah.
Kami jadi pesimis. Apa boleh mengetahui sejarah para eksil yang merupakan bagian dari kejayaan sebuah partai pada zamannya yang kemudian terlarang sekarang ini.
Tenggelam dalam realita
Sejarah kelam bangsa Indonesia banyak terpotret di sini. Filmnya sudah setengah jalan, tidak mungkin kami harus mundur karena merasa getir dan khawatir.
Ketika semua cerita sejarah sudah dipaparkan, kami diberikan sebuah realita bahwa mereka sudah tua sekarang. Mereka sama seperti kami yang juga manusia. Rasa rindu terhadap keluarga, dan negaranya adalah hak mereka.
Beberapa penonton tampak sedih ketika sebagian para eksil yang bercerita penuh semangat memiliki harapan besar untuk bisa kembali ke tanah air namun sudah kehabisan waktu.
Bahkan, untuk tetap mengingat Indonesia, ada eksil yang sampai menanam pohon bambu dan pisang di dalam rumahnya. Ia bercerita betapa rindunya saat ia masih kecil dulu dengan pohon-pohon tersebut.
Pikiran kami ikut berkecamuk. Antara ikut sedih, bergembira atau takut (khawatir). Para eksil sebagian akhirnya bisa pulang ke Indonesia dan bertemu keluarganya.
Namun bukannya disambut antusias, sebagian dari mereka disuruh segera pulang kembali ke negara tempat mereka tinggal. Sejarah masa lalu masih membayangi dan itu menakutkan.
Untuk pulang ke Indonesia saja, sebagian ada yang harus menggunakan paspor karena mereka terpaksa berpindah warga negara karena tidak diakui. Mereka terpaksa, jika tidak bagaimana kami bisa hidup katanya di dalam wawancara.
Ada potongan wawancara yang membuat kami terenyuh. Saat mereka pergi ke luar negeri dan tidak bisa pulang, ada eksil yang terpaksa mengikhlaskan istrinya nikah lagi dengan temannya. Karena kemungkinan pulang yang tidak pasti. Akhirnya si eksil tidak menikah hingga tua.
Sejarah partai besar
Diantara sisi para eksil yang bercerita tentang kehidupannya yang tak bisa pulang lagi ke Indonesia, sang sutradara sekaligus produser, Lola Amalia memasukkan rekaman sejarah.
Bagaimana partai besar yang disebut terlarang tersebut tumbuh dan berkembang saat itu. Bahkan, oleh Presiden pertama Indonesia diberi tempat untuk ikut membangun negeri ini.
Para eksil rupanya bagian dari partai tersebut dan mendapatkan beasiswa untuk bisa belajar di luar negeri. Ada keterikatan di sana dan alasan sebenarnya mengapa mereka tidak diperbolehkan pulang ke Indonesia.
...
Ini adalah film yang penting menurut kami dan harus ditonton karena ada fakta sejarah di sana. Memang akan membuat sebagian penonton akan merasa khawatir karenanya, tapi selesaikanlah sampai akhir durasinya.
Berpikirlah di era sekarang saat ingin menggambarkannya di dalam pikiran. Ketika kesepian menghinggapi, lihatlah orang-orang (eksil) yang merasa kesepian karena tidak bisa pulang ke negaranya yang mereka cintai. Bukan setahun, 5 tahun atau bahkan, 10 tahun. Mereka merindukan hingga puluhan tahun.
Artikel terkait :
- Film Eksil Akhirnya Diputar di Bioskop Kota Semarang
- Eksil, Film Indonesia Kedua yang Tayang Terbatas Tahun 2024
- Review Film Panggonan Wingit
- Review Film Catatan Si Boy (2023)
- Lainnya
Komentar
Posting Komentar