Review Film Balada Si Roy
Balada Si Roy hadir di tengah persimpangan jalan saat genre horor terus meneror. Film yang diangkat dari novel dengan judul yang sama ini mengajak kita mundur ke belakang, era tahun 80-an.
Sebelumnya, kami ucapkan terima kasih sudah diberi kesempatan untuk tiket yang diberikan (menang kuis di Twitter). Bila tidak begini, mungkin nasib kami sama seperti tahun sebelumnya yang minim pergi ke bioskop.
Manis di awal, getir dalam perjalanan
Cerita anak Sekolah selalu menarik buat kami. Apalagi karakter utamanya punya karakter kuat dan pandai menggoda wanita. Si Roy yang diperankan Abidzar Al Ghifari mampu memerankan karakter si Roy yang pemberani, nakal dan menjunjung keadilan.
Menjadi murid baru di salah satu Sekolah Menengah yang ada di Serang, Roy sudah menunjukkan betapa pengaruhnya dia yang membuat alur cerita terasa menyenangkan.
Semakin manis saat ia mulai beraksi tentang menggoda wanita yang tanpa sadar para wanita sendiri yang sebaliknya menggodanya hanya ingin bersamanya.
Perasaan senyum-senyum sendiri itu ternyata harus berakhir kala satu persatu masalah datang menghampiri. Sosok Bi One yang kami kagumi saat berakting di film Srimulat Hil Mustahil mendadak berubah peran. Dari yang jenaka menjadi pemarah dan berkuasa.
Kami tidak tahu nanti apabila film Balada Si Roy diputar tidak di layar lebar, apakah karakter maskulin pemeran utamanya bisa terasa. Idn Pictures rasanya sangat memanjakan mata penonton, terutama Si Roy dengan karakter wajahnya yang kata perempuan akan bilang 'laki banget'.
Belum selesai pertikaiannya dengan Bio One yang berperan sebagai Dullah, termasuk si Anjing yang mati karena pertengkaran keduanya, masalah lain terus muncul.
Dari kehilangan teman satu kelasnya, keluarga yang dianggap perusak, hingga berurusan dengan preman lokal dan dunia bawah (pejabat). Alurnya benar-benar naik turun, seperti diaduk-aduk. Sudah senang, eh dibawa lagi sedih atau sebaliknya. Yakin ini film layar lebar?
Namanya juga anak muda yang terkadang bisa kena masalah, harus mencari pelarian. Sisi Roy yang lemah ini paling tidak kami sukai karena karakternya sudah begitu ambisius untuk menguasai Serang lewat tulisan.
Pesona Lulu Tobing
Aktris yang satu ini jarang kelihatan, karena emang kami jarang nonton juga sih 😅, bukan hanya mempesona dari sisi tampilannya. Juga, makin bening. Lulu Tobing berperan sebagai Ibu Si Roy yang keluarganya harus pindah dari Bandung ke Serang.
Menjadi penjahit, Ibu Roy ini cukup terkenal sebagai penjahit dalam ceritanya di film. Kami senang bahwa ia menjadi Ibu Si Roy. Mau senyum atau marah, pesonanya tetap terjaga. Terima kasih Sutradara.
Promosi tradisi dan wisata
Permasalahan Si Roy dan Dullah tidak akan berhenti hingga akhir cerita film. Ada momen menarik yang tanpa sadar itu semacam tradisi dan bagi kami itu adalah promosi yang bagus.
Si Roy dan Dullah harus menyelesaikan permasalahan mereka dengan pertarungan ala silat dan disaksikan para pesilat lainnya. Bahkan, ada para tokoh agama dan tetua. Apakah Serang kota jawara?
Selain sisi tradisi yang diperlihatkan, ada banyak sisi kota dan tempat yang bisa dipromosikan sebagai destinasi wisata. Kami pikir ini ada udang dibalik batu. Karena cara promosi lewat film memang selalu berhasil.
Perjalanan masih berlanjut akan datang?
Selama film tayang, kita bukan hanya disuguhkan gambar yang bagus tapi juga bahasa Sunda (ralat kami bila salah) yang menjadi bahasa sehari-hari dalam film.
Banyak karakter lain yang ditampilkan yang punya nama besar meski perannya tidak besar. Ada Pak Pur, karakter yang ada di film Autobiography. Andy Rif, Pak Prabu yang main di film KKN di Desa Penari hingga Deddy Yusuf. Oh ya, Aming juga main yang berperan sebagai satpam Sekolah.
Akhirnya film sudah sampai menjelang titik akhir. Perasaan naik turun, permasalahan yang silih berganti dan kisah yang hanya janji-janji harus segera diakhiri.
Namun, kenapa Roy harus naik bus dan pergi meninggalkan Ibunya? Apakah akan ada cerita Balada Si Roy 2 ke depannya? Idn Pictures ini memang sukanya menggantung cerita deh.
...
Penonton milenial ke atas pasti akan suka dengan film ini karena menghadirkan nostalgia. Mesin ketik, kaset, baju sekolah yang kancing dibuka, dan berbagai hal yang membuat perasaan yang dulu hilang rasanya kembali datang.
Kami suka dengan tampilan karakter Si Roy dan Dullah. Satu gondrong yang maskulin dan satu selalu rapi yang identik dengan pomed. Meski berbenturan (baik vs jahat), pengambilan gambar wajah keduanya luar biasa.
Tentu, kami menyukai aktris-aktris perempuan yang bermain. Semuanya memenuhi syarat untuk tampil dengan tema 80-an. Hanya saja, film ini banyak mengangkat kisah karakter si cowok. Yang di mana menjadi kekuatan dalam ceritanya.
Kami harap, film Balada Si Roy dapat bertahan lebih dari 2 minggu di bioskop Kota Semarang.
Artikel terkait :
Komentar
Posting Komentar