Ironi Solata di Bioskop Semarang: Dijuluki 'Laskar Pelangi Toraja' Tapi Kalah Sama Film Horor
Awal November 2025, bioskop di Kota Semarang kembali menunjukkan pola yang sama: absennya film Indonesia berkualitas. Sudah tiga judul yang rilis terbatas, termasuk Solata yang seharusnya jadi oase. Mengapa film yang disebut-sebut 'Laskar Pelangi-nya Toraja' ini harus bernasib pilu? Di tengah gempuran film horor dan blockbuster Hollywood, Solata justru jadi korban ironis: Kisah inspiratif tentang pendidikan terpencil yang relevan, tapi kesulitan merebut slot layar.
Kami harus akui, karakter penonton Semarang memang unik—bukan hal baru, dan sepertinya sulit berubah. Pengelola bioskop lokal, entah di XXI Paragon atau NSC Mangkang, seolah sudah menggarisbawahi preferensi ini: selalu prioritaskan film yang cepat hype, seperti Kuncen atau Predator: Badlands. Padahal, jika filmnya benar-benar ngeklik, antrean bisa membludak. Sayangnya, Solata kali ini kalah saing dengan magnet film yang lebih "instan" menarik massa.
Oase di Tengah Banjir Film Horor November: Solata Angkat Isu Pendidikan Terpencil
Solata, film 106 menit bergenre drama komedi keluarga ini disutradarai oleh Ichwan Persada (Walma Pictures & Indonesia Sinema Persada). Rilis 6 November 2025, film ini berambisi menjadi penerus spiritual Laskar Pelangi dengan mengangkat kisah guru relawan di Pegunungan Ollon, Tana Toraja, yang berjuang melawan ketimpangan pendidikan di timur Indonesia.
Ceritanya berfokus pada Angkasa (Rendy Kjaernett), yang lari dari hiruk-pikuk Jakarta ke pelosok tanpa sinyal, lalu bertemu enam murid yang namanya unik: Karno, Harto, Habi, Wahid, Mega, dan Bambang. Dari clash budaya urban dan rural inilah, tumbuhlah "solata"—persahabatan Toraja yang menghangatkan hati.
Ber-rating SU (semua umur), Solata sangat cocok untuk kebutuhan healing keluarga. Visual pegunungan Toraja memukau, dibalut kearifan lokal, komedi ringan, sekaligus kritik halus tentang minimnya gaji guru honorer. Kami di Semarang yang punya akses bioskop melimpah justru butuh film ini untuk diingatkan betapa parahnya ketimpangan pendidikan di negeri ini.
Di tengah hiruk-pikuk kota pelabuhan, Solata mengajak kami memikirkan ulang makna "teman sejati" di era serba digital. Film ini ibarat tamparan lembut—istirahat hati di tengah banjir film horor November macam Kuncen, Sosok Ketiga: Lintrik, atau Pangku.
Ironi Akses: Solata Kritik Ketimpangan Pendidikan, Tapi Sulit Dapat Layar Bioskop
Inilah ironinya: Solata mengkritik isu akses pendidikan terbatas, tapi filmnya sendiri terpinggirkan dari akses hiburan bioskop. Di kota tier-1 seperti Jakarta dan Bandung saja tayangnya minim, apalagi masuk ke Semarang dan kota tier-2 lainnya.
Padahal, data industri mencatat film lokal 2025 sedang dominan: 63% market share dengan 55,8 juta penonton year-to-date, mengalahkan film impor Hollywood. Namun, keterbatasan slot distribusi (hanya sekitar 150 slot tahunan untuk 400 film siap rilis) membuat film independen seperti Solata harus rebutan jatah tayang yang sangat tipis.
Laskar Pelangi Era 2008 vs. Solata 2025: Penonton Kami Lebih Suka Jump-Scare?
Era 2025 memang berbeda. Penonton lebih mudah tergoda jump-scare film horor atau CGI dari Predator ketimbang drama yang menuntut emosi mengalir pelan. Tengok saja jadwal November, 70% slot diisi horor/aksi, sementara drama sosial seperti Solata dianggap terlalu "niche" untuk weekend keluarga. Kehadiran streaming, TikTok, dan rentang atensi yang pendek (short attention span) membuat film ini harus bekerja ekstra.
Jauh berbeda dengan 2008, saat Laskar Pelangi booming pasca-reformasi dan publik haus akan cerita inspiratif lokal yang membanggakan. Box office Laskar Pelangi kala itu mencapai 4,6 juta penonton, sebuah rekor yang bahkan membuat Belitung jadi destinasi wisata.
Sutradara Ichwan Persada jelas terinspirasi Laskar Pelangi untuk "masuk ke hati" penonton lewat visual Ollon dan cast anak lokal autentik. Namun, backing produksinya beda kelas. Laskar Pelangi didukung Miles Films (Mira Lesmana-Riri Riza) dan novel bestseller Andrea Hirata, yang menciptakan hype organik masif. Solata lebih independen, budget ketat, dan tanpa star power yang masif (meski Rendy Kjaernett solid).
Distribusi sepenuhnya bergantung pada negosiasi dengan bioskop besar, dan tanpa promo viral yang kuat, film ini terancam kalah saing. Tren film indie menunjukkan word-of-mouth yang kuat adalah satu-satunya jalan untuk naik daun.
Solata Toraja Butuh 'Solata' (Persahabatan) dari Kami Penonton Semarang
Apakah tim Walma Pictures kurang all-out di pemasaran? Mengapa tidak push snippet emosional interaksi Angkasa-murid di media sosial, atau kolaborasi dengan influencer lokal Semarang untuk memicu buzz? Laskar Pelangi sukses karena memanfaatkan word-of-mouth secara maksimal.
Solata memiliki potensi untuk meniru, mengangkat Toraja menjadi destinasi wisata baru seperti Belitung. Namun, untuk itu, kami—para penonton Semarang—butuh kesempatan untuk melihatnya, dan Solata itu sendiri butuh 'solata' (persahabatan) dari kami.
Kasus Solata ini harus jadi alarm bagi industri film Indonesia. Film berkualitas, meski minim star power atau hype instan, harus punya ruang. Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam siklus dominasi horor dan blockbuster yang membuat variasi cerita lokal hilang. Semoga distributor dan pengelola bioskop di Semarang melihat potensi besar Solata ini dan memastikan bahwa film inspiratif ini tidak lagi terjepit.
Artikel terkait :
- Jadwal Bioskop Semarang: Kamis Minggu Pertama Bulan November 2025, Ada 3 Film Baru + 1 Tidak Tayang
- Kenalan dengan Film Badik: Kisah Harga Diri Bugis-Makassar, Kenapa Belum Tayang di Bioskop Semarang?
- Film Cyberbullying: Kisah Perundungan Digital yang Wajib Ditonton, Sayangnya Belum Hadir di Semarang
- Lainnya

Komentar
Posting Komentar